Jumat, 12 Februari 2010

Tong Sampah Konsumerisme

another sharing..

Well, lads. Gue mau share tentang pendapat gue mengenai masalah lingkungan. Sebenernya, ini foto+caption yang gue ikutin lomba foto di Journalympic Fisipers UI 2009. Gue dapet 1st place di Photo Contestnya. Enjoy..


Tong Sampah Konsumerisme


Konsumerisme sebenarnya bukan merupakan kebiasaan yang buruk. Istilah ini sebenarnya muncul sebagai semangat membela hak-hak konsumen. Namun, ketika kata “konsumerisme” masuk ke Indonesia, artinya berubah total. Masyarakat salah kaprah mengartikannya sebagai sifat manusia yang konsumtif. Pengertian itu terus bertahan hingga sekarang tanpa ada upaya mengembalikan ke pengertian awal.

Sifat konsumerisme identik dengan konsumsi berbagai macam produk. Agar dapat mengkonsumsi sebuah produk, manusia harus membeli produk itu terlebih dulu. Produk dikemas dalam berbagai kemasan yang menarik. Akan tetapi, kemasan itu akan menjadi sampah ketika nilai guna produk habis. Seiring dengan meningkatnya konsumsi manusia, tentu sampah-sampah kemasan produk akan meningkat pula. Jika ditarik kesimpulan, konsumerisme yang meningkat akan berakibat pada peningkatan jumlah sampah. Celakanya jika peningkatan sampah tidak didukung dengan peningkatan kuantitas dan kualitas tong sampah, kebersihan dan keindahan lingkungan akan rusak.

Foto ini merupakan contoh nyata dari pengabaian dampak dari konsumerisme. Foto ini diambil di lingkungan sekitar Balairung Universitas Indonesia, tepatnya di pinggir danau dekat Rektorat Universitas Indonesia. Padahal, danau ini digunakan sebagai area penunjang keindahan Universitas Indonesia. Tampak jelas tong sampah yang bolong kedua lobangnya sehingga tidak dapat menampung sampah kemasan produk konsumsi manusia.


cherio lads!

a story about other

Hey lads, gue mau berbagi cerita tentang sosok-sosok yang ada di sekitar kita. Mungkin mereka gak kita sadari ada, tapi mereka ada di sekitar kita. Salah satunya adalah temen-temen gue di Terminal Bayangan Depok Town Square. Mereka adalah timer-timer yang bertugas mengumpulkan penumpang untuk naik ke angkot tertentu. And anyway, cerita ini sebenarnya tugas UAS Dasar-Dasar Fotografi. Enjoy..


Para Pencari Rupiah di Jalan Raya

2 Jam bersama timer-timer Ambon di terminal bayangan Depok Town Square

Selasa, 16 Desember 2009, aku pusing tujuh keliling. Aku belum juga mendapatkan foto untuk photo story ujian akhir semester dasar-dasar fotografi. Padahal, esok harinya adalah tanggal pengumpulan. Aku terus memutar otak memikirkan konsep photo story yang bertemakan Jalan Raya di Jakarta. Aku harus bertarung konsep yang kreatif dengan kolega-kolegaku sesama mahasiswa di kelas. Otakku mulai bekerja ekstra keras memikirkan konsep apa yang menarik. Segala ingatan tentang kondisi jalan raya di Jakarta muncul laksana kilas balik film tua yang penuh “semut” di dalam ingatanku. Jika aku tidak mendapatkan konsep yang berbeda, matilah nasibku.

Aku mulai mendapatkan pencerahan ketika melihat polisi cepek, pengemis, serta pengamen-pengamen di jalan raya. Aku tersadar bahwa mereka menggantungkan hidupnya di jalan raya. Mereka makan dan minum ditentukan dari berapa rupiah hasil usaha mereka di jalan raya. Tiba-tiba, pengalamanku pulang pergi dari rumah ke kampus yang selalu menggunakan angkutan umum mengingatkan ada pekerjaan unik ketika kita sedang berada di terminal atau terminal-terminal bayangan. Akan ada orang yang memanggil-manggil penumpang untuk naik dan ia akan memperoleh tips dari supir. Mereka dinamakan timer atau joki penumpang. Aku ingat, di bawah jembatan penyeberangan Depok Town Square (Detos) ada komunitas timer yang unik. Mereka adalah komunitas timer Ambon.

Aku pun memutuskan untuk mengangkat cerita timer Ambon ini. Mereka pasti punya banyak cerita unik. Benar saja, keunikan sudah terlihat dari cara berpakaian mereka yang rapi serta kinclong. Mereka tidak kumuh, kusam, layaknya pengemis-pengemis jalanan. Mereka tetap memperhatikan penampilan. Budaya orang Indonesia timur yang mengedepankan penampilan terlihat jelas pada mereka.

Awal aku berkenalan dengan mereka memang sangat canggung. Aku bertemu dengan bang Ambon, Decho, Billy, serta beberapa anggota komunitas timer Ambon lainnya. Bang Ambon adalah senior dalam kelompok ini. Ia mengaku “baru” 10 tahun mengadu nasib di Jakarta. Ia meninggalkan Ambon ketika terjadi kerusuhan disana. Siapa sangka, ia dulu ikut dalam pergerakan mahasiswa ketika masyarakat Ambon menuntut keadilan. Bang Ambon sebenarnya tidak lagi bekerja sebagai timer. Tugasnya hanya menjaga teman-teman timer-timer dari gangguan pihak lain. Sambil mengisi waktu, Bang Ambon berjualan pulsa untuk memuaskan panggilan jiwanya, yakni berwirausaha.

Aku menghabiskan banyak waktu bercerita dengan Bang Ambon. Kami bercerita di kios pulsa miliknya yang persis berada di terminal bayangan Detos. Bang Ambon bercerita bahwa keberadaan masyarakat Ambon telah lama ada disana. Mereka ada sejak sebelum Detos dibangun. Masyarakat Ambon memang telah dipercayakan oleh pemilik tanah untuk menjaga tanah tersebut. Bang Ambon mengatakan bahwa tanah tersebut milik Grup Lippo. Sampai sekarang, Detos pun masih dijaga oleh etnis Ambon. Bahkan, tenaga keamanan yang bertugas secara resmi didominasi oleh etnis Ambon. Bang Ambon bercerita banyak tentang hidupnya dan betapa keras hidup di ibukota. Sebagai mantan aktifis, ia adalah pribadi yang bijaksana serta cerdas. Ketika ditanya tentang masa lalu, ia cenderung lebih menyukai kehidupan era orde baru. Menurutnya, semiskin-miskinnya orang pada era itu, mereka masih bisa mencari makan dengan mudah. Ketika kami mengobrol, kerap kali beberapa timer lainnya datang dan ikut mengobrol bersama kami. Sambil bercerita, akupun mencuri-curi waktu merekam momen ini melalui kamera. Bahkan, timer-timer ini sangat senang dengan kehadiranku yang peduli akan mereka. Mereka bergaya minta difoto olehku. Raut muka mereka memancarkan kesenangan menjalankan pekerjaan. Tidak ada kesedihan terpancar di antara mereka. Mereka kerap bercanda menggunakan bahasa daerah Ambon serta bertingkah layaknya anak kecil yang bermain sambil bekerja. Sungguh, yang terasa di terminal itu adalah suasana kekeluargaan yang erat dan damai di tengah-tengah hidup yang keras.

Aku masih memiliki banyak cerita untuk dibagi. Sayang, tidak bisa semuanya aku tulis. Akan tetapi, satu hal yang ingin kubagi adalah solidaritas manusia harus tetap kita jaga. Ketika solidaritas dapat dijaga, kita tidak akan merasakan beban hidup yang sangat berat. Komunitas timer di terminal bayangan Detos memberikan aku pelajaran itu. Hidup adalah sekolah mereka. Tak perlu harta yang melimpah untuk merasakan kebahagiaan. Canda tawa bersama teman cukup untuk membuat mereka merasakan kebahagiaan hidup di tengah berbagai keterbasan.


cherio lads!



The Spirit Comes Back! -the sound of change-

Hemm, okay. Hi world! It's been a long time. Udah sangat lama gue tidak meng-update blog ini. Hampir setahun gue tidak menghiraukan blog ini. Sebenernya gue sangat sedih kalau inget-inget tentang perbuatan tidak konsisten gue. Gue merasa cuma jadi orang yang "latah" dan impulsif. Ketika temen-temen gue punya blog, gw gak mau kalah. Akhirnya jadilah blog ini. Tapi, kalau gue telaah lebih lanjut lagi, ternyata rasa gak mau kalah itu berguna. Gue gak bakal punya blog dan berusaha belajar serta membiasakan diri membuat karya tulis. Entah alasan itu jadi suatu pembenaran aja mungkin, tapi ya udah lah ya. Hehe.

Anyway, membuat sebuah karya tulis memang gak mudah. But, trust me, you'll get a butt-kicking experience out of it. Gue bukan seorang yang suka membuat karya tulisan. Buat gue, menulis itu membosankan dan melelahkan. Stereotip itu ada di otak gue sejak kecil. Gue gak pernah dilatih dan dibiasakan untuk menulis. Jangankan nulis, baca aja gue malesnya minta ampun. Sampai sekarang pun text book kuliah cuma gue baca kalau perlu aja. Akibatnya, gue gak dapet ilmu secara komprehensif. But it will stays like that until you CHANGE yourself, lads! Setelah gue mencoba melakukan perlawanan terhadap comfort zone gw, ternyata hasilnya menyenangkan. Walaupun gue gak bisa dapetin hasil karya tulis yang oke secara instan, gue menikmati proses pendewasaan mental menulis (halah!) ini kok. Hehe. Gue ngerasa banyak dapat manfaat dari perubahan yang gue coba lakukan. Gue bisa berhenti malas-malasan dan bahkan menemukan bakat-bakat terpendam.

Perubahan yang ingin gue lakukan salah satunya terkait dengan blog ini. Gue pengen mengaktifkan kembali blog ini sebagai arena pertempuran pemikiran gue dengan sifat malas gue untuk menulis. Soalnya, kalau dilihat dari sejarah, tokoh-tokoh perubahan mengkontribusikan pemikiran mereka melalui tulisan dan juga mereka tidak pemalas. Nah, itu harus gue latih.
Menurut gue, pemikiran kritis gak cukup hanya mengawang-awang di otak, karena tulisan punya kekuatan untuk mengubah dunia. Gue ingin mengurangi kemalasan menulis supaya bisa ikut mewarnai peradaban manusia (agak ambisius ya).

Soekarno pernah minta 10 pemuda dan ia akan mengubah dunia. Gue agak kecewa gak hidup di masa Soekarno, karena kalau gue hidup di saat itu, gue yakin perkataan beliau akan berubah. Soekarno pasti hanya akan minta 9 orang pemuda untuk bantu dia mengubah dunia karena dia udah punya gue sebagai salah satu pemuda yang akan mengubah dunia. Itu mimpi gue! And yes, i do believe in the power of dream. So lads, get ready! Prepare yourself to CHANGE!



image: http://www.mediabistro.com/agencyspy/original/change.jpg


cherio lads!