Jumat, 12 Februari 2010

a story about other

Hey lads, gue mau berbagi cerita tentang sosok-sosok yang ada di sekitar kita. Mungkin mereka gak kita sadari ada, tapi mereka ada di sekitar kita. Salah satunya adalah temen-temen gue di Terminal Bayangan Depok Town Square. Mereka adalah timer-timer yang bertugas mengumpulkan penumpang untuk naik ke angkot tertentu. And anyway, cerita ini sebenarnya tugas UAS Dasar-Dasar Fotografi. Enjoy..


Para Pencari Rupiah di Jalan Raya

2 Jam bersama timer-timer Ambon di terminal bayangan Depok Town Square

Selasa, 16 Desember 2009, aku pusing tujuh keliling. Aku belum juga mendapatkan foto untuk photo story ujian akhir semester dasar-dasar fotografi. Padahal, esok harinya adalah tanggal pengumpulan. Aku terus memutar otak memikirkan konsep photo story yang bertemakan Jalan Raya di Jakarta. Aku harus bertarung konsep yang kreatif dengan kolega-kolegaku sesama mahasiswa di kelas. Otakku mulai bekerja ekstra keras memikirkan konsep apa yang menarik. Segala ingatan tentang kondisi jalan raya di Jakarta muncul laksana kilas balik film tua yang penuh “semut” di dalam ingatanku. Jika aku tidak mendapatkan konsep yang berbeda, matilah nasibku.

Aku mulai mendapatkan pencerahan ketika melihat polisi cepek, pengemis, serta pengamen-pengamen di jalan raya. Aku tersadar bahwa mereka menggantungkan hidupnya di jalan raya. Mereka makan dan minum ditentukan dari berapa rupiah hasil usaha mereka di jalan raya. Tiba-tiba, pengalamanku pulang pergi dari rumah ke kampus yang selalu menggunakan angkutan umum mengingatkan ada pekerjaan unik ketika kita sedang berada di terminal atau terminal-terminal bayangan. Akan ada orang yang memanggil-manggil penumpang untuk naik dan ia akan memperoleh tips dari supir. Mereka dinamakan timer atau joki penumpang. Aku ingat, di bawah jembatan penyeberangan Depok Town Square (Detos) ada komunitas timer yang unik. Mereka adalah komunitas timer Ambon.

Aku pun memutuskan untuk mengangkat cerita timer Ambon ini. Mereka pasti punya banyak cerita unik. Benar saja, keunikan sudah terlihat dari cara berpakaian mereka yang rapi serta kinclong. Mereka tidak kumuh, kusam, layaknya pengemis-pengemis jalanan. Mereka tetap memperhatikan penampilan. Budaya orang Indonesia timur yang mengedepankan penampilan terlihat jelas pada mereka.

Awal aku berkenalan dengan mereka memang sangat canggung. Aku bertemu dengan bang Ambon, Decho, Billy, serta beberapa anggota komunitas timer Ambon lainnya. Bang Ambon adalah senior dalam kelompok ini. Ia mengaku “baru” 10 tahun mengadu nasib di Jakarta. Ia meninggalkan Ambon ketika terjadi kerusuhan disana. Siapa sangka, ia dulu ikut dalam pergerakan mahasiswa ketika masyarakat Ambon menuntut keadilan. Bang Ambon sebenarnya tidak lagi bekerja sebagai timer. Tugasnya hanya menjaga teman-teman timer-timer dari gangguan pihak lain. Sambil mengisi waktu, Bang Ambon berjualan pulsa untuk memuaskan panggilan jiwanya, yakni berwirausaha.

Aku menghabiskan banyak waktu bercerita dengan Bang Ambon. Kami bercerita di kios pulsa miliknya yang persis berada di terminal bayangan Detos. Bang Ambon bercerita bahwa keberadaan masyarakat Ambon telah lama ada disana. Mereka ada sejak sebelum Detos dibangun. Masyarakat Ambon memang telah dipercayakan oleh pemilik tanah untuk menjaga tanah tersebut. Bang Ambon mengatakan bahwa tanah tersebut milik Grup Lippo. Sampai sekarang, Detos pun masih dijaga oleh etnis Ambon. Bahkan, tenaga keamanan yang bertugas secara resmi didominasi oleh etnis Ambon. Bang Ambon bercerita banyak tentang hidupnya dan betapa keras hidup di ibukota. Sebagai mantan aktifis, ia adalah pribadi yang bijaksana serta cerdas. Ketika ditanya tentang masa lalu, ia cenderung lebih menyukai kehidupan era orde baru. Menurutnya, semiskin-miskinnya orang pada era itu, mereka masih bisa mencari makan dengan mudah. Ketika kami mengobrol, kerap kali beberapa timer lainnya datang dan ikut mengobrol bersama kami. Sambil bercerita, akupun mencuri-curi waktu merekam momen ini melalui kamera. Bahkan, timer-timer ini sangat senang dengan kehadiranku yang peduli akan mereka. Mereka bergaya minta difoto olehku. Raut muka mereka memancarkan kesenangan menjalankan pekerjaan. Tidak ada kesedihan terpancar di antara mereka. Mereka kerap bercanda menggunakan bahasa daerah Ambon serta bertingkah layaknya anak kecil yang bermain sambil bekerja. Sungguh, yang terasa di terminal itu adalah suasana kekeluargaan yang erat dan damai di tengah-tengah hidup yang keras.

Aku masih memiliki banyak cerita untuk dibagi. Sayang, tidak bisa semuanya aku tulis. Akan tetapi, satu hal yang ingin kubagi adalah solidaritas manusia harus tetap kita jaga. Ketika solidaritas dapat dijaga, kita tidak akan merasakan beban hidup yang sangat berat. Komunitas timer di terminal bayangan Detos memberikan aku pelajaran itu. Hidup adalah sekolah mereka. Tak perlu harta yang melimpah untuk merasakan kebahagiaan. Canda tawa bersama teman cukup untuk membuat mereka merasakan kebahagiaan hidup di tengah berbagai keterbasan.


cherio lads!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar